Hukum transaksi hutang dengan bahasa ‘pinjam’
Pertanyaan : Bagaimana hukum transaksi hutang dengan bahasa ‘pinjam’?
Jawab : Hukumnya sah menjadi transaksi utang piutang. Karena, menurut kebiasaan masyarakat (urf), istilah ‘pinjam’ sudah terlaku digunakan sebagai bahasa dalam transaksi utang piutang.
Referensi :
Al-Asybah Wa an-Nadhoir, hlm. 95
Nihayah al-Muhtaj, juz V, hlm. 124
Pertanyaan : Bagaimana hukum transaksi utang piutang dengan menyelipkan syarat-syarat yang bukan berupa ‘bunga’ (tambahan dalam pengembalian), yang menguntungkan kepada pihak pemberi hutang (muqridl)? Seperti; mau menghutangi dengan syarat harus dipijit dulu, mau menghutangi dengan syarat dibantu pekerjaannya, dll.
Jawab : Pada dasarnya, transaksi utang piutang diberlakukan sebagai wujud rasa saling mengasihi dan saling membantu antar sesama. Oleh karenanya, syariat Islam menilai bahwa setiap transaksi utang piutang tidak sah apabila disertai syarat yang menguntungkan kepada pihak pemberi hutang (muqridl). Hal ini tidak lain adalah karena dengan syarat tersebut bertentangan dengan prinsip transaksi utang piutang sebagaimana di atas.
Syarat yang menguntungkan pihak muqridl yang dapat membatalkan transaksi utang piutang tidak terbatas pada keuntungan materi (bunga) saja. Namun juga mencakup keuntungan dalam bentuk lain, sebagaimana dalam pertanyaan di atas. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa transaksi sebagaimana dalam pertanyaan hukumnya tidak sah dan haram, serta termasuk riba.
Referensi :
Tuhfah al-Muhtaj , juz V, hlm. 47
Tuhfah al-Muhtaj, juz IV, hlm. 272
Disunting dari Buletin Aswaja NU Edisi 6