Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Kediri menghimbau kepada warga NU Kota Kediri untuk senantiasa menjaga kesehatan, Mematuhi Intruksi, himbauan, dan protokol yang ditetapkan oleh Pemerintah dalam menghadapi pandemi Covid-19, termasuk tidak keluar rumah dan jaga jarak aman (Social distancing) agar tercapai kemaslahatan bersama serta Memperbanyak doa dan amaliyah sebagaimana intruksi PBNU serta memohon pertolongan kepada Allah SWT semoga pandemi Covid-19 bisa diatasi dengan segera


Breaking News
Home / Kajian Fiqih / Hukum transaksi hutang dengan bahasa ‘pinjam’

Hukum transaksi hutang dengan bahasa ‘pinjam’

LOGO LBM PP. LIRBOYO

Hukum transaksi hutang dengan bahasa ‘pinjam’

 

Pertanyaan    : Bagaimana hukum transaksi hutang dengan bahasa ‘pinjam’?

Jawab             : Hukumnya sah menjadi transaksi utang piutang. Karena, menurut kebiasaan masyarakat (urf), istilah ‘pinjam’ sudah terlaku digunakan sebagai bahasa dalam transaksi utang piutang.

Referensi       :

Al-Asybah Wa an-Nadhoir, hlm. 95

Nihayah al-Muhtaj, juz V, hlm. 124

 

Pertanyaan    : Bagaimana hukum transaksi utang piutang dengan menyelipkan syarat-syarat yang bukan berupa ‘bunga’ (tambahan dalam pengembalian), yang menguntungkan kepada pihak pemberi hutang (muqridl)? Seperti; mau menghutangi dengan syarat harus dipijit dulu, mau menghutangi dengan syarat dibantu pekerjaannya, dll.

Jawab             : Pada dasarnya, transaksi utang piutang diberlakukan sebagai wujud rasa saling mengasihi dan saling membantu antar sesama. Oleh karenanya, syariat Islam menilai bahwa setiap transaksi utang piutang tidak sah apabila disertai syarat yang menguntungkan kepada pihak pemberi hutang (muqridl). Hal ini tidak lain adalah karena dengan syarat tersebut bertentangan dengan prinsip transaksi utang piutang sebagaimana di atas.

Syarat yang menguntungkan pihak muqridl yang dapat membatalkan transaksi utang piutang tidak terbatas pada keuntungan materi (bunga) saja. Namun juga mencakup keuntungan dalam bentuk lain, sebagaimana dalam pertanyaan di atas. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa transaksi sebagaimana dalam pertanyaan hukumnya tidak sah dan haram, serta termasuk riba.

Referensi       :

Tuhfah al-Muhtaj , juz V, hlm. 47

Tuhfah al-Muhtaj, juz IV, hlm. 272

Disunting dari Buletin Aswaja NU Edisi 6

About admin

Check Also

KAJIAN FIQIH : ADAT SEPUTAR KEMATIAN

ADAT SEPUTAR KEMATIAN  Sebagai bangsa yang kaya akan budaya, masyarakat Indonesia memiliki berbagai macam tradisi …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *