Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Kediri menghimbau kepada warga NU Kota Kediri untuk senantiasa menjaga kesehatan, Mematuhi Intruksi, himbauan, dan protokol yang ditetapkan oleh Pemerintah dalam menghadapi pandemi Covid-19, termasuk tidak keluar rumah dan jaga jarak aman (Social distancing) agar tercapai kemaslahatan bersama serta Memperbanyak doa dan amaliyah sebagaimana intruksi PBNU serta memohon pertolongan kepada Allah SWT semoga pandemi Covid-19 bisa diatasi dengan segera


Breaking News
Home / Kajian Fiqih / MANÂQIBAN : Legalitas, dalil al-Qurân dan Hadîts

MANÂQIBAN : Legalitas, dalil al-Qurân dan Hadîts

Al-Jilani

MANÂQIBAN

Selain manâqib Syaikh ‘Abdul Qadîr al-Jîlâni yang paling populer, terdapat pula manâqib-manâqib lain yang menjadi pilihan masyarakat, seperti manaqib Syaikh ‘Abdul Karîm as-Sammâni (Syaikh Sammân), pendiri Tarekat Sammâniyah, yang menjadi manâqib pilihan sebagian kaum muslimin di Sumatra, Kalimantan dan Betawi, serta manâqib Syaikh Abû al-Hasan asy-Syâdzili yang sering dibaca warga Nahdhiyin, khususnya mereka penganut Tarekat Syâdziliyah. Kegemaran, gairah dan kesemangatan mengadakan manaqiban sedikit banyak didorong oleh berbagai kebajikan dan keuntungan yang dapat diperoleh darinya, seperti mengenang perjuangan, keilmuan dan berbagai keteladanan shâhibul manâqib (orang mulia yang dikenang dalam manaqib). Tidak jarang pula, pembacaan manaqib dimaksudkan untuk bertawassul demi terpenuhinya sebuah hajat, atau pelaksanaan nadzar. Bahkan, di beberapa daerah seperti Banten, Aceh, Minangkabau serta beberapa daerah Kurdistan, Asia Tengah, pembacaan manaqib sering dikaitkan dengan ilmu kebal yang di Banten tersohor disebut dengan debus.

Sebagai salah satu tradisi masyarakat muslim yang sudah mengakar kuat,  manâqiban tidak luput dari bidikan klaim bid’ah oleh sebagian kalangan, bahkan dinilai sesat menyesatkan dan penuh kesyirikan. Namun, terlepas dari tudingan miring ini, dalam faktanya manaqiban tetap eksis dan populer diamalkan. Demi mengiringi budaya luhur inilah kajian ini dikemukakan agar kita bisa memahami tradisi manâqiban.

 

TINJAUAN HUKUM MANÂQIBAN

Manaqiban dari segi bahasa berasal dari kata manqabah yang berarti budi pekerti mulia. Sementara kata jamaknya adalah mânaqib. Dari kata manâqib ini kemudian muncul istilah manâqiban yang berarti pembacaan kisah-kisah teladan orang-orang shaleh. Tradisi ini memiliki payung hukum yang jelas dan kuat. Sebagaimana firman Allâh;

”Dan semua kisah dari Rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Hûd: 120)

Meskipun ayat ini secara tekstual hanya menyebutkan kisah teladan para Rasul sebelum Nabi Muhammad SAW, namun bukan berarti al-Qurân hanya memuat kisah para Rasul saja. Akan tetapi al-Qurân juga memuat kisah para Mu`minîn dan Shâlihîn. Seperti kisah Maryam yang melahirkan Nabi Isa AS tanpa seorang ayah dalam surat Maryam ayat 16-25, kisah ketabahan Asiah binti Mazâhim dalam mempertahankan keimanannya kepada Allâh SWT dengan menerima siksaan suaminya, Fir’aun, dalam surat at-Tahrîm ayat 11. Begitu pula kisah Ashâb al-Kahfi, sekelomok pemuda yang melarikan diri dari seorang Raja lalim yang memaksa mereka untuk pindah agama sebagaimana tertulis dalam surat al-Kahfi ayat 9-22 dan semisalnya.

Oleh karenanya, ayat 120 surat Hûd di atas menjadi bukti nyata legalitas tradisi manâqiban yang di dalamnya diceritakan kisah teladan orang-orang shaleh dan para Waliyullâh. Manâqiban juga mengandung kebenaran, mau-’idhah dan pengingat yang bermanfaat bagi orang-orang yang beriman selaras dengan semangat ayat tersebut. Bahkan dalam sepenggal maqâlah masyhur disebutkan;

”Saat disebut orang-orang shaleh akan turun rahmat.”

Meskipun status maqâlah ini masih dipersengketakan ulama, seperti al-Ghazâli dan az-Zamakhsyari yang menganggapnya sebagai Hadîts Nabi Muhammad SAW, al-Qâri yang mengakui kemungkinan maqâlah ini merupakan sebuah Hadîts, serta ulama lain semisal al-dz-Dzihabi dan al-‘Iraqi  yang menilainya hanya sebagai maqâlah Sufyân bin ‘Uyainah  (107-198 H/725-814 M), salah seorang guru Imam Syâfi’i dan ulama besar kota Makkah generasi Tâbi’ Tâbi’în. Kendati begitu, mereka tetap mengamini keabsahan maknanya. Dalam al-Maqâshid al-Hasanah as-Sakhâwi mengisahkan dialog dua orang shaleh, yakni Abû ‘Umar bin Najîd dan Abû Ja’far bin Hamdan. Abû ‘Umar bertanya pada Abû Ja’far;

”Dengan niat apa (seharusnya)  aku menulis Hadîts?”

Abû Ja’far menjawab: “Apakah tidak kalian saksikan saat mengingat orang-orang shaleh akan turun rahmat?”

”Ya, kami saksikan!” jawab Abû ‘Umar.

”Jika memang demikian, maka Rasulullâh SAW adalah pemimpin para shalihin!” tegas Abû Ja’far.

Rasionalnya, dengan sering bergaul dengan orang-orang yang kurang memperhatikan etika-etika agama, maka seseorang akan terbiasa dan menganggap ringan hal-hal yang sebenarnya tidak baik. Bahkan dengan hanya melihat tingkah polah mereka, dalam hatinya akan terbesit kebaikan dirinya sendiri yang tiada seberapa. Jika perasaan ini telah berada pada diri seseorang, maka ia adalah racun hebat yang siap menggerogoti ‘kehidupan’ hatinya. Begitu pula sebaliknya, jika seseorang terbiasa berkumpul dengan orang-orang shaleh, maka dengan ‘cermin’ budi pekerti luhur mereka, ia akan tergerak menyadari berbagai kekurangan, kealpaan dan kebodohannya. Bahkan hanya dengan mendengar atau menyimak kisah teladan mereka, dalam hal ini termasuk manâqiban, seseorang akan membangkitkan diri untuk berbuat lebih baik, menyesali kesalahan-kesalahan dan menggantinya dengan amal shaleh semaksimal mungkin. Tiada lain hal ini adalah salah satu wujud rahmat Allâh yang diturunkan kepadanya. Apabila kebiasaan tersebut terus kontinyu dipelihara maka berarti ia telah melakukan sebab-sebab untuk memperoleh rahmat teragung yakni masuk surga dan bersua dengan Allâh SWT Yang Maha Penyayang, Subhânallâh.

Sementara dalam dunia tarekat para kaum sufi sangat memperhatikan kisah teladan para kekasih Allâh demi menggapai prestasi religius yang lebih baik. Seperti penuturan Imam Junaid sebelum menuturkan ayat di atas sebagai dalil manaqiban, beliau berkata;

”Kisah-kisah teladan adalah satu pasukan dari pasukan-pasukan Allah SWT yang dengannya hati para murid bisa kokoh.”

Bahkan jauh-jauh hari sebelum Imam Junaid (w. 297 H/910) berkata demikian, Abû Hanîfah (80-150 H/699-767 M) sudah mendahuluinya dengan berkata:

”Kisah-kisah teladan dan kebaikan para ulama lebih aku sukai dari pada fiqh.”

Selain berpijak pada ayat al-Qurân dan maqâlah-maqâlah di atas, keabsahan tradisi manaqiban didukung pula dengan sebuah Hadîts Nabi riwayat al-Dailami:

”Mengingat para Nabi SAW termasuk ibadah, mengingat shalihin adalah pelebur dosa, mengingat kematian adalah sedekah dan mengingat (kedahsyatan alam) kubur akan mendekatkan ke surga.” (HR. Dailami)

Menurut as-Suyûthi sanad Hadîts ini adalah dha`îf (lemah), kendati demikian ada juga ulama yang menilainya hasan li ghairih (baik dengan dukungan Hadîts lain), seperti yang diungkapkan Ibn al-Ghârits (833-894 H/1429-1489 M).

Dari ulasan di atas bisa disimpulkan legalitas manâqiban, dengan dalil al-Qurân dan Hadîts sebagaimana yang telah diutarakan.

  • Dikutip dari Buletin Aswaja PCNU Kota Kediri Edisi 1

About admin

Check Also

Ranting Rejomulyo Selenggarakan Lailatulul Ijtima’ Dan Pelantikan Pengurus

Nukotakediri.or.id, Pengurus Ranting (PR) Rejomulyo Kota Kediri selenggarakan rutinan lailatulul ijtima’ disertai pelantikan pengurus di …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *